sepirite...

Membaca membuka cakrawala berpikir,menulis pengikat ilmu dan warisan kan dikenang

Senin, 29 Juni 2015

Bu Mar



Siapa Bu Mar? Ia hanyalah guru TK Aisyiyah di kota kecil. Guru sederhana dan sabar. Dalam kesehariannya Beliau hanya mengajar di TK yang dulu pernah saya sekolah bersama teman-teman masa kecilku.  Kegembiraan bermain dan bergurau serta bercanda tidak ketinggalan menghiasi masa TK. Meskipun bayang-bayang itu telah banyak yang kabur ditelan zaman dan usia. Tapi ada satu nasehat yang pernah Beliau sampaikan hingga membekas di benak ini. Apa nasehatnya? Mas Heri… besuk kalau sudah besar jadi guru saja ya…! begitu pesannya. Guru? Saya jadi … agak kebingungan, kemudian menganggukan kepala tanda setuju. Kala itu. Masa TK telah berlalu hingga SD.


Ketika SD guru yang paling berkesan adalah guru Bahasa Indonesia. Ibu Kamsiti namanya. Dan kedua yang bernama pak Sholeh sebagai guru agama. Apa yang menarik dari Bu Kamsiti? Yang menarik dari Beliau adalah kemampuan memikat anak-anak dengan ceritanya. Pernah berhari-hari saya dan teman-teman sabar menunggu ending cerita dari sebuah buku yang dituturkan menjelang akhir pelajaran atau jam kosong. Beliaunya sering kali mengakhiri cerita saat seru-serunya. Stop ! besuk dilanjutkan lagi. Haaa..? Bikin penasaran aja! Kayak sinetron di tv-tv itu….

Kemudian SMPK saya sempat cukup baik berprestasi di sekolah. Pernah ranking 1 di sekolah. Di SMPK saya termasuk siswa yang disukai guru matematika dan agama. Untuk bidang Matematika disebabkan saya lebih aktif. Sedangkan untuk pelajaran agama saya selalu mendapat nilai terbaik dibanding siswa lain, bahkan yang agama nasrani pun nilainya tidak sebaik saya.

Dipersimpangan jalan. Demikian kalau saya ingat dan rasakan hingga saat ini. Apa itu? Memilih menjadi guru. Sewaktu pendaftaran ke tingkat SLTA saya berhenti di titik persimpangan, apakah lurus daftar ke SMA ataukah ke kiri daftar ke SPG? Teman-teman saya banyak yang jalan lurus. Bimbang! Hati ingin bersama-sama teman-teman tapi pundak berat sekali. Lama berpikir… akhirnya saya belok kiri ingat pesan guru TK dan Bapak saya agar daftar di sekolah guru saja.

Di SPG lah saya merasakan sikap dan perilaku yang berbeda. Berbeda dengan teman-teman yang bersekolah di SMA. Mengapa? Awalnya saya juga kurang memperhatikan dan merasakan pembentukan kepribadian di sekolah. Sosok calon guru SD memang berbeda dengan anak SMA yang atraktif dan “bebas bersikap/bertindak”. Nampak kedewasaan dari siswa-siswa SPG kala itu. Suatu saat sich kepingin berlagak kayak anak-anak SMA tapi tidak bisa dan tidak pantas. Lalu…, ya menahan diri. Masak calon guru kayak begitu? Itulah yang selalu muncul.

Di SPG prestasi saya cukup baik (5 besar) walaupun tidak bisa mengalahkan teman saya bernama Paimin yang berotak encer. Bagaimana tidak? Waktu akan ulangan Matematika saya harus belajar/latihan mati-matian. Dia malah sebaliknya sibuk mencangkul sawah milik induk semangnya. Kemudian ia mendapat nilai 100 sementara saya hanya mendapat nilai 85. Dua teman ranking di atas saya tidak rekomendit. Mengapa? Ya karena tidak jujur. Bagi saya itu tidak penting.Mengapa terbelenggu dengan nilai? Apa yang membedakan nilai 80 dan nilai 90??? Apakah kehidupannya sudah mencerminkan dengan nilai yang diperoleh? So wahat?

Bu Mar… guru TK saya telah menuntunku menjadi guru. Guru yang mewariskan ilmu dan prilaku mulia kepada para siswa. Karena mereka harapan bangsa dan negara ini ke depan. Saya pun mencoba melahirkan dan mewariskan pula guru-guru yang hebat. Lebih hebat dari lulusan guru yang biasa saja.  Alhamdulillah, para mahasiswa saya dulu sekarang banyak menjabat menjadi wakasek dan kepala sekolah. Semoga mereka-mereka itu lancar mengemban amanah mewariskan kebaikan dan kecerdasan bekal hidup. Hidup dunia dan akherat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar