Siapa Bu Mar? Ia hanyalah guru TK Aisyiyah
di kota kecil. Guru sederhana dan sabar. Dalam kesehariannya Beliau hanya
mengajar di TK yang dulu pernah saya sekolah bersama teman-teman masa kecilku. Kegembiraan bermain dan bergurau serta
bercanda tidak ketinggalan menghiasi masa TK. Meskipun bayang-bayang itu telah
banyak yang kabur ditelan zaman dan usia. Tapi ada satu nasehat yang pernah
Beliau sampaikan hingga membekas di benak ini. Apa nasehatnya? Mas Heri… besuk
kalau sudah besar jadi guru saja ya…! begitu pesannya. Guru? Saya jadi … agak
kebingungan, kemudian menganggukan kepala tanda setuju. Kala itu. Masa TK telah
berlalu hingga SD.
Ketika SD guru yang paling berkesan adalah
guru Bahasa Indonesia. Ibu Kamsiti namanya. Dan kedua yang bernama pak Sholeh
sebagai guru agama. Apa yang menarik dari Bu Kamsiti? Yang menarik dari Beliau
adalah kemampuan memikat anak-anak dengan ceritanya. Pernah berhari-hari saya
dan teman-teman sabar menunggu ending
cerita dari sebuah buku yang dituturkan menjelang akhir pelajaran atau jam
kosong. Beliaunya sering kali mengakhiri cerita saat seru-serunya. Stop ! besuk
dilanjutkan lagi. Haaa..? Bikin penasaran aja! Kayak sinetron di tv-tv itu….
Kemudian SMPK saya sempat cukup baik
berprestasi di sekolah. Pernah ranking 1 di sekolah. Di SMPK saya termasuk siswa
yang disukai guru matematika dan agama. Untuk bidang Matematika disebabkan saya
lebih aktif. Sedangkan untuk pelajaran agama saya selalu mendapat nilai terbaik
dibanding siswa lain, bahkan yang agama nasrani pun nilainya tidak sebaik saya.
Dipersimpangan jalan. Demikian kalau saya ingat
dan rasakan hingga saat ini. Apa itu? Memilih menjadi guru. Sewaktu pendaftaran
ke tingkat SLTA saya berhenti di titik persimpangan, apakah lurus daftar ke SMA
ataukah ke kiri daftar ke SPG? Teman-teman saya banyak yang jalan lurus.
Bimbang! Hati ingin bersama-sama teman-teman tapi pundak berat sekali. Lama
berpikir… akhirnya saya belok kiri ingat pesan guru TK dan Bapak saya agar
daftar di sekolah guru saja.
Di SPG lah saya merasakan sikap dan
perilaku yang berbeda. Berbeda dengan teman-teman yang bersekolah di SMA.
Mengapa? Awalnya saya juga kurang memperhatikan dan merasakan pembentukan
kepribadian di sekolah. Sosok calon guru SD memang berbeda dengan anak SMA yang
atraktif dan “bebas bersikap/bertindak”. Nampak kedewasaan dari siswa-siswa SPG
kala itu. Suatu saat sich kepingin berlagak kayak anak-anak SMA tapi tidak bisa
dan tidak pantas. Lalu…, ya menahan diri. Masak calon guru kayak begitu? Itulah
yang selalu muncul.
Di SPG prestasi saya cukup baik (5 besar) walaupun
tidak bisa mengalahkan teman saya bernama Paimin yang berotak encer. Bagaimana
tidak? Waktu akan ulangan Matematika saya harus belajar/latihan mati-matian.
Dia malah sebaliknya sibuk mencangkul sawah milik induk semangnya. Kemudian ia
mendapat nilai 100 sementara saya hanya mendapat nilai 85. Dua teman ranking di
atas saya tidak rekomendit. Mengapa? Ya karena tidak jujur. Bagi saya itu tidak
penting.Mengapa terbelenggu dengan nilai? Apa yang membedakan nilai 80 dan
nilai 90??? Apakah kehidupannya sudah mencerminkan dengan nilai yang diperoleh?
So wahat?
Bu Mar… guru TK saya telah menuntunku
menjadi guru. Guru yang mewariskan ilmu dan prilaku mulia kepada para siswa.
Karena mereka harapan bangsa dan negara ini ke depan. Saya pun mencoba melahirkan
dan mewariskan pula guru-guru yang hebat. Lebih hebat dari lulusan guru yang
biasa saja. Alhamdulillah, para
mahasiswa saya dulu sekarang banyak menjabat menjadi wakasek dan kepala
sekolah. Semoga mereka-mereka itu lancar mengemban amanah mewariskan kebaikan
dan kecerdasan bekal hidup. Hidup dunia dan akherat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar