Tantangan terbesar bagi
pendidikan kita adalah ada upaya merobohkannya baik langsung
maupun tidak langsung. Apakah negara dan bangsa ini sudah menyadari terjadi?
Seperti apa pendidikan kita ini roboh?
Tanggungjawah siapakah bila pendidikan ini roboh? Dan mengapa pendidikan bangsa
ini sampai bisa roboh? Lalu apa yang dapat kita, para pendidik lakukan? Saat
ini terjadi ketidak seimbangan antara yang membangun dan yang merobohkannya.
Bangsa Indonesia yang memiliki
penduduk terbesar ke-4 di dunia ini secara nasional belum memiliki sistim
pendidikan yang kokoh. Beberapa indikasi yang dapat dirasakan adalah pertama,
derasnya informasi yang menyerang kesegenap segmen sudah tidak dapat dibendung
lagi. Yang mengakibatkan pendidikan hanya sebagai tempat jual beli(pasar).
Kedua, visi pendidikan nasional belum menjadi komitmen kuat oleh para pemangku
kepentingan, mulai dari atas sampai ke bawah. Ketiga, yang menjadi tren
kesuksesan peserta didik hanya pada otak semata, jadi tidak imbang. Mustinya
pembangunan karakter tidak dijadikan sebagai pelengkap penderita. Keempat,
topik-topik yang dibicarakan para pendidikan lebih intens masalah-masalah di
luar pendidikan. Dan kelima, belum mampu melahirkan model pendidikan setidaknya
di setiap kabupaten yang sesuai visi pendidikan nasional.
Dari kelima indikasi di atas
fakta yang didapat di lapangan adalah:
Indikasi pertama
Gelombang perubahan perilaku
peserta didik baik di sekolah maupun di rumah sudah mengalami pergeseran. Hal
ini tampak dari tampilan atau gaya hidup yang borjuis, hidonis dan kurang
agamis. Yang lain berupa pergaulan semakin terbuka dan kebablasan antara laki
dan perempuan. Selfi di media sosial menjadi gaya pamer diri dan kesombongan
yang tidak punya makna tinggi. Akibat dari ini semua kiblat pendidikan bukan
lagi dari visi pendidikan nasional tapi impor budaya dari negara barat, yang
serba boleh dan yang tidak memiliki nilai-nilai luhur.
Contoh: perayaan ulang
tahun dengan berfoya-foya, valentine day dengan kemaksiatan, kelulusan UN
dengan pesta bikini, berdua-dua di taman tanpa malu-malu lagi, mempertontonkan tubuh
tanpa rasa risih & malu di media sosial dan corat-coret baju saat lulusan
menjadi kebanggaan.
Indikasi kedua
Gerakan bersama membangun
karakter peserta didik sekedar sebagai formalitas dan proyek jika waktunya
selesai ya selesai sudah. Padahal membangun karakter itu terus-menerus tanpa
dipisahkan dari mata pelajaran yang diajarkan. Kurikulum 13 mencoba untuk
mengkaitkan KI-1 yang merupakan ruhnya ilmu dan karakter yang tidak bisa
dipisahkan di setiap pengajaran di sekolah. Namun sayang niat dan kemauan belum
menjadi jalan peserta didik cerdas sekaligus berkarakter.
Contoh: Guru dan pejabat terkait
justru memberi contoh yang kurang baik UN yang tidak jujur, menyontek bersama
dan terang-terangan, MOS hanya untuk lucu-lucuan, wajib belajar adalah wajib bayar,
prestasi akademis lebih dipandang hebat dibanding prestasi karakter, mengajar
ya mengajar karakter ya urusan guru agama.
Indikasi ketiga
Pendidikan yang sekuler terjadi
akibat memisahkan antara pengajaran dengan nilai-nilai agama & karakter
bangsa. Pendidikan yang diterima peserta didik terjadi split dan tidak
utuh sebagai makhluk ciptaan Allah dan warga negara Indonesia. Ketaatan pada
Tuhan hanya sebatas seremoni dan nasionalis hanya bertujuan untuk memperoleh
jabatan atau keuntungan.
Contoh:Pendidikan yang diajarkan
tidak menjadikan manusia yang utuh, prakmatisme lebih dominan dibanding
idealisme, pembangunan kepribadian bangsa pada peserta didik kabur(tidak
jelas), pendidikan agama hanya sebagai pelengkap, cara pandang lebih
mengutamakan materi, dan konsumtif dibanding produktifitas.
Indikasi keempat
Problematika pendidikan dari
tahun ke tahun semakin banyak dan komplek. Untuk itu, dituntut para pendidik
mampu menyelesaikan dengan benar dan tepat. Karena penyelesaian yang kurang
benar dan tepat akan berimplikasi pada sesuatu yang kurang baik.
Contoh:narkoba sudah menjadi
daurat hingga menyerang anak-anak dan reamaja, penganiayaan sering terjadi di
dunia pendidikan, tindak assusila melanggar norma hukum, dan problematika para
guru melanggar HAM –penganiayaan.
Indakasi kelima
Lembaga pendidikan yang
menginginkan perubahan harus mengalami meningkatan kualitas. Pembangunan
kualitas seharusnya merupakan harapan dan sikap bersama para pemangku
kepentingan. Kualitas di sini tentu sesuai dengan harapan pendidikan Nasional.
Yaitu melahirkan manusia Indonesia yang seutuhnya. Bila blue print ada
maka seyogyanya dapat dicontoh atau ditiru lembaga/sekolah lainnya. Pada realisasinya: belum ada
Contoh : pemerintah sebagai
penyelenggaran lembaga pendidikan belum mampu cetak model-model sekolah baik,
sistem pendidikan nasional belum memiliki kemampuan spiritualitas dalam
berkarya, semangat membangun pendidikan berkualitas masih setengah hati, sertifikasi
belum mampu mendorong kontribusi kualitas menuju pendidikan yang lebih maju.
Untuk memperbaiki sistem pendidikan yang roboh tidaklah serta merta dirobohkan lalu dibangun kembali. Ambil langkah saja dengan bekerja semoga meskipun kecil akan membantu menutup lubang-lubang bangunan. Robohnya kualitas pendidikan kita merupakan tanggungjawab kita semua para pendidik dan pemerintah(Diknas). Masyarakat juga harus ditingkatkan kepedulianya dalam berkontribusi peningkatan kualitas pendidikan. Untuk itu bekerja sajalah. Mengeluh pada kondisi seperti saat ini tiadalah berguna.Yes!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar