Beban berat terasa di lidah untuk menyampaikan nasehat.
Nasehat seorang bapak kepada anak-anaknya. Ketiga anak perempuan yang saat ini
tumbuh menjadi remaja dan menuju dewasa. Momen yang tepat, cair pembicaraan,
tidak terlalu menggurui, dan tidak mendoktrin tapi sampai maksudnya. Saat
seperti itu yang dalam beberapa hari saya panjatkan pada Allah. Menunggu dan
menunggu… Kapan?
Saat mengantar anak ketiga ke sekolah tiba-tiba dia membuka
pembicaraan . . .
“Bapak, semalam ada kecelakaan di jalan Karpil”. Celetuk anakku
mengawali.
“Oh, ya! Di sebelah mana?”kejarku.
“Itu dekat pasar! Meninggal. Wong dikasih koran tubuhnya.”jelas anakku.
Saya mencoba diam sejenak tidak melanjutkan pertanyaan…
tiba-tiba dia melanjutkan.
“Yang meninggal perempuan, kelihatannya terlindas truk
trailer. Kasihan…”ibanya.
Kemudian saya menceritakan beberapa perilaku anak remaja dan dewasa yang ceroboh
berkendaraan. Bersepeda motor kebut-kebutan, zig-zag menyalip kendaraan, menyalip
di sebelah kiri ugal-ugalan, tanpa helm, dan belok tanpa memberi tanda. Itu
semua perilaku ceroboh. Bukan hanya ceroboh berakibat bagi dirinya saja tapi
juga orang lain. Pengendara yang bertanggungjawab adalah orang yang berkendara
mengikuti aturan lalu lintas, selalu menjaga keselamatan diri dan orang lain,
dan bila terjadi kecelakaan tidak melarikan diri. Lalu …
“Bagaimana dengan kamu?”tanya saya ingin tahu.
“Ya enggak gitu!” tegasnya.
“Masa? Benar begitu?”jawab saya agak kurang percaya.
“Kadang-kadang.”jawab anak saya singkat.
“Janganlah kamu tiru perilaku yang seperti itu. Tidak baik!”tegas
saya.
Memang kalau kita perhatikan banyak orang di sekitar kita tidak
mau bertanggungjawab, padahal mereka pelakunya. Contoh perilaku tidak
bertanggungjawab selain berkendaraan adalah orang yang membuang sampah
sembarangan dan pergaulan bebas. Kedua masalah tersebut menjadi penyakit yang
terus berkembangbiak seiring kemajuan zaman yang serba konsumtif dan hidonis.
Beberapa kali saya menjumpai orang yang membuang sampah di
pinggir jalan, dan bukan di tempat sampah. Bahkan suami istri naik sepeda motor
lalu membuang sampah ke sungai tanpa merasa bersalah! Dalam hati saya bertanya
lalu siapa yang akan membuang sampah ke TPA? Demikian juga orang yang membuang
sampah ke sungai apakah mereka merasa aman kalau sampah sudah dibuang di sungai.
Selesai masalah! Toh bila ada masalah biar orang lain saja yang kena, asal
dirinya tidak. Sikap individualis sebenarnya bukan sifat asli orang Indonesia,
yang katanya ramah dan peduli. Lalu mengapa
demikian? Itu pertanyaan yang kita semua perlu tahu apa penyebabnya.
Demikian juga pergaulan bebas antara laki dan perempuan
tanpa ada rasa malu, risih, salah, dan berdosa. Bahkan ada alasan suka sama
suka atau karena pacar, seakan-akan bebas melakukan apa saja. Sehingga
akhir-akhir ini banyak berita yang kita dengar dan saksikan pelecehan seksual,
photo mesum terjadi mulai anak-anak hingga pejabat. Bila ditelusuri mereka
adalah orang beragama. Tapi mengapa kok tidak mencerminkan sebagai orang-orang
beragama? Apakah agama hanya di tempat-tempat ibadah saja? Di luar tidak perlu!
Dan apakah mereka merasa Tuhan tidak melihatnya? Naudzubillah min dzalik! Ini bentuk-bentuk
perilaku yang tidak bertanggungjawab baik kepada Tuhan, orangtua, dan
masyarakat. Ada seorang Kyai yang bilang perilaku tersebut seperti codot(=kelelawar)
yang mau enaknya sendiri.
Sebagai orangtua, kita semua berkewajiban mendidik,
membimbing, mengarahkan, dan mengingatkan anak-anak untuk berperilaku yang bertanggungjawab,
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain.
“Kamu dapat menghindar dari tanggungjawab saat ini, tapi
tidak untuk besok”
-hrm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar